Senin, 08 September 2008

Jual Beli Hak Siar

Jakarta - Kasus pemindahtanganan kepemilikan PT Karyamegah Adijaya (PT KA) pada akhirnya harus meminta bantuan palu hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakarta Pusat). Setelah dua surat somasi seorang pengacara ke pihak Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak ditanggapi. Kasus ini didaftarkan di PN Jakarta Pusat berdasarkan No 256/PDT.G.BTH.PLW/2008/PNJKT.PST tertanggal 28 Juli 2008. Sidang I sudah dilaksanakan pada tanggal 3 September 2008 lalu.Seperti dijelaskan pada artikel saya terdahulu (Penganiayaan Hak Publik Oleh Negara), pembiaran yang dilakukan oleh Menkominfo dan Ketua KPI atas pemindahan izin prinsip penyiaran PT KA (Citra TV) ke PT KA (Aora TV) merupakan tindakan melawan hukum atas UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Bagaimana tidak melawan hukum kalau berdasarkan Risalah Rapat PT KA tanggal 7 Januari 2008 telah terjadi pemindahan hak dengan cara menjual dan menyerahkan seluruh saham-saham yang dimiliki perseroan kepada pihak lain. Artinya pemilik PT KA sudah bukan lagi Tuan Hamzah Irawan (247.000 lembar saham) dan Tuan Drs. Rudyanto Somawihardjo (3.000 lembar saham) tetapi sudah berpindah ke PT Arono International (237.500 lembar saham) dan PT Indonesian HGC Telecommunication (12.500 lembar saham). Memang sesuai dokumen yang ada, akte perubahan ini baru diterima oleh Kantor Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia pada tanggal 17 Januari 2008, jadi belum disahkan.Kejanggalan Pertama, saat pemegang saham PT KA memasukkan permohonan sebagai penyelenggara penyiaran lembaga penyiaran berlangganan jasa penyiaran televisi, di Akte Pendirian PT KA tertanggal 29 November 2006, maksud dan tujuan pendirian perseroan adalah berusaha dalam bidang Perdagangan, Keagenan, Perwakilan, Pembangunan, Perindustrian, Jasa, Pengangkutan, Perbengkelan dan Percetakan. Bukan televisi berlangganan. Kok bisa ya dapat izin prinsip dari Menkominfo? Kedua, adanya Surat Keputusan Menkominfo RI Nomor 407/KEP/M.KOMINFO/9/2007 tentang Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi PT KA memang mengejutkan dan membingungkan saya sebagai rakyat yang pernah memperjuangkan terwujudnya UU Penyiaran. Saya bisa maklum jika ini terjadi zaman Orba. Bagaimana industri penyiaran Indonesia bisa berkembang dengan baik kalau para pemilik stasiun televisi bukan broadcaster tetapi pedagang? Jelas filosofi keduanyanya berbeda. Seharusnya Kominfo berkaca pada kesalahan industri penerbangan yang mengizinkan pedagang menjadi pemilik maskapai penerbangan, airliner. Ketiga, kalau perusahaan biasa termasuk perusahaan perbengkelan memang menggunakan prinsip entitas sama seperti manusia karena tidak menggunakan ranah publik yang namanya frekuensi. Sehingga izin operasi perusahaan melekat pada izin perusahaan tersebut. Ketika terjadi perpindahan kepemilikan, izinnya masih melekat pada perusahaan tersebut sebagai aset. Namun tidak demikian dengan perusahaan penyiaran. Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain dalam waktu tertentu (5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk TV). Jika tidak sanggup menjalankannya, harus dikembalikan kepada Negara.Coba sekali lagi kita baca Pasal 34 Ayat (4) UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menyatakan : "Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain". Dalam Penjelasan Pasal 34 Ayat (4) dinyatakan sebagai berikut: "Yang dimaksud izin Penyelenggaraan Penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain". Dalam kasus PT KA, saham perusahaan dijual atau dialihkan pada perusahaan dan atau perseorangan lain, meskipun badan hukumnya masih sama yaitu PT KA.Jelas bisa kita baca iklan PT KA di harian Media Indonesia edisi tanggal 26 Nopember 2007, edisi tanggal 27 November 2007, edisi 28 Nopember 2007 dan Harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 29 November 2007 bahwa saham KA sudah diperjualbelikan. Kalau ini perusahaan perbengkelan sih sah-sah saja tetapi tidak demikian dengan izin perusahaan penyiaran, Bung! Penyiaran menggunakan ranah publik. Jadi hak publik untuk memintanya kembali dan diserahkan pada Negara, jika perusahaan yang diberi izin tidak dapat mengurusnya. Bukan diperjualbelikan.Langkah PublikSesuai dengan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 52 Ayat (1) yang menyatakan: "Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional". Jadi kalau Anda sebagai bangsa Indonesia mengetahui ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai regulator, maka anda harus mengingatkan. Diingatkan secara baik-baik tidak mempan, ya gunakan palu hakim. Kalau Anda diam saja maka Anda sebagai bangsa turut melanggar hukum, karena membiarkan Pemerintah melanggar UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.Berhubung saya tidak mau dibilang turut melanggar UU, maka peran saya sebagai warga negara saya salurkan melalui Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang saat ini sedang mendukung salah satu gugatan yang diajukan oleh seorang pengacara di PN Jakarta Pusat. Menkominfo sebagai tergugat I, Ketua KPI sebagai tergugat II dan turut tergugat PT KA. Jadi siapa pun WNI yang mengetahui adanya pelanggaran UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, jangan diam saja. Ingat! Jangan menggugat karena ada yang membayar tetapi gugatlah dengan hati yang jernih untuk yang lebih baik.Seharusnya materi gugatan yang masuk ke PN Jakarta Pusat juga mencantumkan persoalan ini. Mengapa perusahaan yang meminta izin penyiaran dalam akte pendiriannya bukan untuk penyiaran tetapi untuk bidang lainnya. Meskipun pada akhirnya memang akte tersebut diubah. Dari awal sudah PATUT DIDUGA bahwa PT KA memang tidak akan berbisnis di sektor penyiaran tetapi hanya sekadar memperoleh izin, lalu menjualnya. Layaknya jual beli perusahaan perbengkelan biasa bukan perusahaan penyiaran.Mari kita tegakkan hukum di negara tercinta ini. Kalah menang di pengadilan bukan sesuatu yang harus tetapi lebih utama partisipasi publik dalam mengontrol negara akan membuat negara ini, insya Allah lebih baik. Sekecil apa pun partisipasi Anda pasti bermanfaat. Mari kita ciptakan efek jera sebanyak mungkin bagi para calon pelanggar hukum. Siapa pun dia. Sampai jumpa pada Sidang II di PN jakarta Pusat tanggal 6 November 2008.
AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)(nrl/nrl) -->