Rabu, 27 Februari 2008

Mempekerjakan Aktor Cilik

Aktor/aktris atau pemeran ataupun pelaku (performer) (“Aktor”), yang dipekerjakan dalam film layar lebar atau film televisi ataupun sinetron maupun program tv (“Film”), adalah sudah jamak di Indonesia. Namun bagaimana jika Aktor Film tersebut adalah anak yang belum dewasa mengingat aktor yang masih cilik tersebut masih dalam tumbuh kembang mental, intelektual dan sosial sehingga mungkin dapat terpengaruh dengan peran yang dimainkannya dalam Film antara lain peran antagonis, ataupun terganggunya proses wajarnya (wajib belajarnya) sebagaimana wacana perda pemprov DKI Jakarta tentang larangan pelajar menjadi artis yang mengemuka akhir-akhir ini di berbagai media.
Wacana tersebut berkembang, berbagai komentar, ada yang pro dan ada yang kontra.
Pada acara talkshow di Metro TV beberapa waktu lalu, muncul Sakurta Ginting sebagai narasumber yang menceritakan pengalamannya pada saat dipekerjakan sebagai pemeran sinetron dalam sinetron yang salah satunya berjudul “Kiamat Sudah Dekat”. Ia pun menyatakan tidak terganggu dengan syutingnya tersebut dan merasa senang.
Di Tabloid Wanita Indonesia, ada pula komentar Kepsek yang memiliki murid artis, yang menyatakan tidak setuju dengan larangan tersebut selama tidak mengganggu kegiatan sekolah. Bahkan katanya, muridnya yang berkegiatan artis tersebut tetap dapat berprestasi dengan cukup baik. Namun di dalam tabloid itu pula ada yang kontra yang mengingatkan perlunya aturan tersebut agar syuting tidak menggangu sekolah. Buktinya katanya, Shandy Aulia sampai tidak lulus sekolah.
Dalam kesempatan ini, penulis bermaksud menjelaskan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan khusus terkait dengan mempekerjakan Aktor Film cilik, dan tidak bermaksud menganalisis maksud dan tujuan penyusunan perda tersebut yang hanya merupakan pelengkap dan khusus mengatur Aktor pelajar dan syuting di lokasi sekolahan di daerah DKI Jakarta.

Perlindungan hukumnya di Indonesia

Dipekerjakan anak dalam sebuah Film, maka gambaran perlindungannya juga meliputi perundang-undangan yang mengatur Film (film layar lebar, film televisi, sinetron dan program tv) yakni UU Perfilman berikut peraturan pemerintahnya dan UU Penyiaran berikut peraturan pelaksanaanya hingga ke SK KPI mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Sebelumnya, pertanyaan mendasar adalah usia berapakah seorang anak disebut dewasa. Sejatinya, usia dewasa tersebut harus ditentukan oleh ketentuan hukum yang paling umum yakni KUHPerdata yang mana menyebutkan usia dewasa adalah telah mencapai genap 21 tahun ataupun belum tetapi telah menikah sehingga apabila belum sampai 21 tahun dan belum menikah, maka ia berstatus seorang anak.
Sedangkan UU Penyiaran dan P3SPSnya menyebutkan bahwa berstatus anak dan remaja seorang anak yang belum mencapai 18 tahun, dimana UU Perlindungan Anak juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai 18 tahun. Akhirnya dalam per-uu-an ketenagakerjaan yakni Kepmenaker RI Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun.
Mengenai adanya perbedaan usia anak ini, penulis berpendapat bahwa mengingat KUHPerdata adalah ketentuan yang berlaku sejak lama dan dengan melihat perkembangan anak baik secara fisik maupun psikologis yang sudah banyak ‘matang’ sebelum usia 21 tahun dan umumnya 18 tahun, adanya putusan-putusan pengadilan atas kasus perdata termutakhir yang menetapkan bahwa usia dewasa adalah 18 tahun, dan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka menurut hemat penulis adalah dapat diterima secara “living law” bahwa usia anak adalah apabila belum mencapai 18 tahun.
Dalam UU Perfilman yang mengatur tentang termasuk produksi film yang mempekerjakan artis dan karyawan Film, ternyata tidak ada yang secara spesifik menyebutkan perlindungan langsung kepada anak yang bekerja dalam Film. Namun walaupun demikian, UU tersebut memberikan perlindungan secara luas yakni artis dan karyawan film yang dipekerjakan dalam sebuah Film berhak mendapatkan jaminan sosial dan perlindungan lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku berdasarkan perjanjian kerjanya. Dengan demikian, dalam UU Perfilman telah ditentukan batasannya bahwa artis Film termasuk Aktor anak mendapatkan perlindungan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dimana mengingat Aktor adalah anak, maka ketentuan tersebut adalah semua ketentuan yang terkait dengannya.

Dalam UU Penyiaran pun tidak ada yang menyebutkan perlindungan Aktor anak dalam bekerja di Film melainkan hanya memberikan perlindungan bagi penonton tv/pemirsa anak atas isi siarannya.
Termasuk dalam P3SPS, dimana Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuan dalam produksi film televisi, sinetron maupun program tv yang disiarkan di tv, maka tidak terdapat pula ketentuan yang mengariskan hal tersebut.

Selanjutnya dalam UU Perlindungan Anak, tidak ada pula ketentuan yang mengatur secara tegas dalam mempekerjakan anak kecuali bahwa salah satu perlindungan anak adalah terlindunginya mereka dari eksploitasi ekonomi maupun seksual. Apabila dikaitkan dengan bekerjanya Aktor anak dalam Film, maka ketentuan tersebut dapat saja membentur orang tua yang mengarahkan dan mengusahakan anaknya untuk menjadi Aktor Film untuk mendatangkan keuntungan ekonomis bagi keluarga mereka tanpa mempertimbangkan adanya minat dan bakat anaknya tersebut.

Ketentuan yang secara tegas mengatur pekerjaan anak sebagai Aktor Film adalah per-uu-an Ketenagakerjaan yakni UU Ketenagakerjaan dan Kepmenaker RI Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat Dan Minat.
Berdasarkan ketentuan ketengakerjaan, maka pada prinsipnya pengusaha dalam hal ini film production company dilarang mempekerjakan anak, kecuali dalam 3 hal yakni :

1. Pekerjaan ringan;
2. Pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan pejabat berwenang;
3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Menurut hemat penulis, Aktor anak bekerja dalam Film dapat dimasukkan dalam kategori pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya sehingga dengan demikian terdapat ketentuan dalam mempekerjakannya yakni :
1. Pekerjaannya memenuhi kriteria yakni pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini, diminati anak, berdasarkan kemampuan anak, menumbuhkan kreatitivitas dan sesuai dengan dunia anak;
2. Dalam melibatkan anak dalam pekerjaan harus memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak dengan cara antara lain :
a. anak didengar dan dihormati pendapatnya;
b. anak diperlakukan tanpa menghambat tumbuh kembang fisik, mental, intelektual dan sosial secara optimal;
c. anak tetap memperoleh pendidikan;
d. anak diperlakukan sama dan tanpa paksaan.
3. Mendapat pengawasan langsung orang tua/wali yang dilakukan dengan cara :
a. mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan;
b. mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya;
c. menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan pekerjaan;
4. Anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun wajib ketentuan :
a. membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua/wali yang mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. mempekerjakan di luar waktu sekolah;
c. memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua belas ) jam seminggu;
d. melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan pengawasan langsung ;
e. menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, perjudian,minuman keras, prostitusi dan hal-hal sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak;
f. menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan
g. melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
5. Melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota pada lokasi anak dipekerjakan, dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang kertenagakerjaan di Provinsi yang bersangkutan dengan menggunakan formulir yang disediakan dan disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum mempekerjakan anak.
Perlindungan hukumnya di Amrik

Sebagai bahan perbandingan, di luar negeri khususnya di Amerika Serikat, telah diatur standarnya untuk memperkerjakan anak dalam Film. Standar-standarnya bisa jadi berlainan di setiap negara bagiannya. Namun di negara bagian yang merupakan ‘mabes’nya theatre films (big screen) yakni California, hukum negara bagiannya menetapkan bahwa Aktor anak dapat menolak/menyanggah kontrak yang ditawarkan produser. Namun mereka tidak dapat menolak/menyanggah kontrak lagi apabila kontrak tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pengadilan tinggi setempat. Kebijaksanaan apakah kontrak tersebut sudah adil bagi Aktor anak ditentukan oleh pengadilan tinggi setempat tersebut. Guna memberikan perlindungan atas hasil kerja anak dalam dunia hiburan termasuk bekerja sebagai Aktor, hukum negara bagian disana pun telah menetapkan bahwa atas 15% bagian dari pendapatannya harus ditabung dalam trust fund dimana tabungan tersebut baru dapat diambil apabila telah cukup umur nantinya.
Selain itu ketentuan perburuhannya pun mengatur sedemikian rupa. Produser yang akan memperkerjakannya harus memiliki izin kerja, Aktor anak tidak boleh melakukan pekerjaan yang berbahaya atau yang merugikan kesehatan, keamanan, moral dan pendidikan mereka. Jam kerjanya Aktor anak terbatas dan yang masih dalam usia sekolah mesti menghadiri kelas minimum 3 jam setiap hari di sekolah. Aktor anak di bawah usia 16 tahun pun harus didampingi oleh orang tua atau wali di lokasi shooting.

Yang lebih mengejutkan adalah disana sudah terdapat banyak kasus-kasus yang terkait dengan masalah tersebut antara lain sebagai berikut :
- Continental Nat. Bk. vs Strauss, dimana ditetapkan kontrak anak memiliki kekuatan untuk dapat diberlakukan dan anak memiliki hak absolut untuk menyanggah;
- Warner Bros Pictures vs Brodel, dimana anak tersebut berusaha menyanggah jangka waktu opsi dalam kontrak yang berlaku sebelumnya yang mana telah disetujui Pengadilan Tinggi namun akhirnya, persetujuan Pengadilan Tinggi atas kontrak dibenarkan, jangka waktu opsi mengikat, dan usaha anak tersebut untuk menyanggahnya ditiadakan;
- Scott Eden Management vs Andrew Kavovit, dimana ayah anak tersebut bermaksud untuk memutuskan kontrak manajemen yang masih berlaku dengan dalih anaknya memiliki hak untuk menyanggah kontrak sehingga tidak perlu lagi membayar fee management yang tersisa dalam masa kontrak.

Tips-tips hukum dalam produksi Film yang melibatkan Aktor anak

Sebagai kesimpulan, dengan melihat wacana yang sudah berkembang, perlindungan hukum dan kasus-kasus yang menyangkut Aktor anak yang bekerja di Film, maka ada beberapa tips-tips hukum dalam mempekerjakan aktor Film anak bagi produser Film, antara lain :

1. Dapat saja usia 18 tahun dijadikan patokan bahwa anak tersebut masih anak-anak atau telah dewasa; Dalam mengadvis klien-klien kami, kami pun selalu menggunakan standar tersebut;
2. Pada waktu negosiasi dengan orang tua/walinya agar mengkonfirmasi mengenai anak tersebut telah memenuhi kriteria dan telah memperhatikan prinsip kepentingan terbaik anak; Apabila diwakili manajemen, maka agar hal tersebut disampaikan langsung oleh orang tua/walinya;
3. Dalam kontrak kerjanya agar di-stated bahwa orang tua/wali berkewajiban untuk mendampingi anaknya pada waktu bekerja di lokasi shooting dan bilamana tidak, maka ia bertanggung jawab atas hal tersebut dan membebaskan produser dari tuntutan;
4. Diperlukan minor release atau semacam pernyataan pelepasan hak anak dari orang tuanya atas berbagai hal, yang terpisah dari kontrak kerjanya guna satu dan lain hal.

Semoga tulisan ini juga menyambut KPI yang sedang/akan membuat pedoman siaran anak.


Tulisan ini di buat oleh alumni Carefa Andi Mappajanci Ridwan Saleh

Tidak ada komentar: